RSS

Gelang yang Hilang


Gelang yang Hilang
Oleh: Fiona Aurora


Halo, namaku Gracie. Aku berumur 14 tahun. Saat ini aku bersekolah di SMP Smileville, tepatnya kelas 8A. Aku mempunyai sahabat bernama James, dan hari adalah hari terburuk sepanjang masa.
Pagi ini, aku sedang bersiap-siap untuk pergi ke sekolah. Hari ini aku akan mengikuti lomba menyanyi solo dalam rangka hari ulang tahun SMP Smileville. Aku sangat gugup karena ini adalah pertama kalinya aku mengikuti lomba semacam ini, sampai-sampai aku lupa mengikat tali sepatuku dan aku hampir jatuh tersandung. Untungnya, Ibu mengingatkanku dan berkata, “Gracie, ikat dulu tali sepatunya! Nanti kamu bisa jatuh.” Aku menepuk dahiku. “Oh iya, aku lupa! Terima kasih, ya, Bu karena sudah mengingatkan.” Kataku sambil mengikat tali sepatuku.
Ibu menatapku dengan wajah pengertian. “Gracie, apakah kamu gugup karena perlombaan itu?” Aku menyelesaikan tali sepatuku dan mendongak. “I-iya, Bu. Hehehe….” Jawabku sambil menggaruk kepalaku yang tidak gatal. “Ibu punya sesuatu agar kamu tidak gugup lagi. Ibu akan ambilkan barang tersebut. Tunggu di sini.” Ibu pergi ke kamarnya, lalu kembali membawa sesuatu yang indah dan berkilau. “Wow, bagus sekali gelang ini, Bu!” Pujiku, terpesona dengan keindahan gelang sederhana yang terbuat dari anyaman tali dengan dihiasi kayu yang diukir dengan indahnya. Walaupun tidak terbuat dari manik-manik yang berwarna-warni, tetapi menurutku gelang ini tetap indah. “Pakailah gelang ini saat kamu tampil di depan  juri dan seluruh penonton, maka kamu tidak akan merasa gugup lagi. Dulu, Ibu juga memakai ini setiap kali Ibu merasa gugup saat tampil melakonkan drama di depan penonton.” Kata Ibu sambil menyodorkan gelang tersebut. “Benarkah aku boleh memakainya, Bu?” Aku berkata dengan semangat, sudah lupa akan kegugupanku. “Tentu saja, Sayang. Kamu boleh memakainya. Dan juga, Ibu minta maaf, ya karena tidak bisa melihatmu menyanyi. Sekarang, ayo berangkat ke sekolah. Nanti kamu terlambat.” Ibu mengingatkanku. Baiklah. Sampai jumpa nanti, Bu!Sampai jumpa, Gracie! Semoga berhasil!”Aku mengucapkan selamat tinggal pada Ibu dan memakai gelang itu, lalu memasuki bis sekolah.
Sesampainya di sekolah, James menghampiriku. “Selamat pagi, Gracie. Apakah kamu sudah siap untuk menang?” Katanya sambil tersenyum padaku. “Hai, James. Ah, siapa bilang aku akan menang?” Kataku sambil tersipu-sipu. Tiba-tiba, Lily yang pintar menyanyi dan juga mengikuti lomba tersebut menghampiri meja kami. “Halo, Gracie. Apa kabar? Kudengar kamu juga mengikuti lomba menyanyi tersebut. Hey, gelang apa itu? Apakah gelang itu baru? Sepertinya aku tidak pernah melihatnya.” Kata Lily sambil menunjuk gelang yang Ibu pinjamkan kepadaku. “Oh, ini gelang milik Ibuku. Dulu, Ibuku sering memakainya setiap ia merasa gugup, dan ia meminjamkannya padaku agar aku tidak merasa gugup selama tampil di depan penonton.” Kataku. “Wah, gelang itu terlihat sangat cocok padamu, Gracie.” Puji James. “Trims, James.” Kataku sambil tersenyum malu. 
Tak lama kemudian, para siswa yang mengikuti lomba menyanyi tersebut dipanggil untuk bersiap-siap di belakang panggung. Aku pergi ke kamar kecil sebelum pergi ke belakang panggung. Seusai dari kamar kecil, aku berjalan menuju belakang panggung. Di belakang panggung, para peserta lainnya tampak gugup dan gelisah, tetapi aku berusaha untuk tetap tenang karena memakai gelang itu. Aku melihat pergelangan tanganku untuk melihat gelang yang mempesona itu sekali lagi. Tunggu dulu. Di mana gelang itu? Apakah aku menaruhnya di kamar mandi dan lupa mengambilnya lagi?
Aku mulai panik. Aku cepat-cepat ke kamar mandi dan mencari gelang tersebut, tetapi aku tidak bisa menemukannya. Aku malah menemukan sebuah sisir berwarna merah. Hmm.. Apakah sisir ini milik orang yang mengambil gelang tersebut? Aku menggeleng-gelengkan kepala dan segera menghapus pikiran tersebut dari kepalaku. Jangan berpikir negatif, Gracie! Tiba-tiba, namaku dipanggil. “Dan kami panggil peserta berikutnya, Gracie Simpson!” Terdengar suara tepukan tangan yang meriah. Oh, tidak.
Aku berjalan ke atas panggung dengan sebuah mikrofon di tangan. Aku berdiri di tengah-tengah panggung. Seharusnya aku fokus pada lagu yang sedang kunyanyikan, tetapi pikiranku melayang pada gelang Ibu. Apa yang harus kulakukan? Pikirku dalam hati. Karena tidak fokus, suaraku menjadi sumbang. Nada-nada yang kulantunkan tidak sesuai dengan musik pengiring dan lirik yang kunyanyikan salah. Setelah selesai, aku turun dari panggung secepatnya dan berlari ke taman sekolah.      
Di taman sekolah, aku terduduk lesu di kursi taman. Sia-sia saja perjuanganku selama ini berlatih menyanyi. Air mataku menetes satu persatu. Tiba-tiba, James datang dan duduk di sebelahku. “Hey, Gracie. Mengapa kamu menangis?” Tanyanya sambil menghapus air mataku. “Tidak apa-apa, James.” Kataku sambil menghapus air mataku yang menetes sekali lagi. “Ayolah, katakan padaku apa masalahmu.” Katanya sambil menenangkanku. “Gelang yang Ibuku pinjamkan padaku hilang. Aku ingat, aku sempat meletakkannya di kamar mandi, sehingga aku mencarinya di sana, tetapi tidak bisa menemukannya. Dan karena memikirkan hal itu, aku terus menerus melakukan kesalahan saat aku berada di atas panggung tadi.” Aku menjelaskan semuanya sambil tersedu-sedu. “Tidak usah bersedih, mari kita cari bersama-sama.” James menarik tanganku. “Baiklah....” Gumamku, pipiku memerah. 
Kami mencari ke semua tempat, tetapi tidak bisa menemukannya. “Menurutku, sepertinya ada yang mengambilnya saat kamu meninggalkan gelang tersebut di toilet.” Kata James saat kami berjalan di sepanjang koridor sekolah. “Oh iya! Aku menemukan ini saat aku mencari gelang itu.” Kataku sambil menyodorkan sisir merah yang tadi kutemukan di tempat yang sama di mana gelang itu hilang. “Hmm... Ini bisa dijadikan sebagai petunjuk.” Kata James sambil mengamati sisir tersebut dengan teliti. “Lihat! Ada sehelai rambut pada sisir ini!” James mengambil rambut pirang yang ikal itu dari sisir merah tersebut. “Di sekolah ini yang mempunyai rambut yang pirang dan ikal ada 3 orang, yaitu Lacey, Molly, dan Lily.” Kata James sambil menjentikkan jarinya. “Mari kita tanya mereka satu persatu!” Kataku dengan semangat.
Kami pergi ke kelas Lacey untuk menanyainya. Lacey berkata bahwa ia sama sekali tidak ke toilet sekolah sejak pagi. Orang kedua yang akan kami tanyai adalah Molly. Saat kami mendatangi kelasnya, ternyata ia tidak masuk sekolah hari itu. Jadi, orang terakhir yang kemungkinan besar mengambil gelang Ibu adalah Lily.
James dan aku berjalan menuju kelas kami yang juga merupakan kelas Lily. Tetapi, Lily tidak ada di kelas. Karena ia juga salah satu peserta lomba, mungkin ia berada di belakang panggung. Tetapi, saat kami mencarinya di sana, hasilnya tetap sama. Lily tidak ada di sana. Kami mencari Lily ke seluruh penjuru sekolah. Walaupun kami sudah mencari kemana-mana, Lily tetap tidak kami temukan. Sampai akhirnya tinggal satu tempat lagi yang belum kami cari, yaitu taman sekolah. Kami segera menuju taman sekolah. Begitu sampai taman sekolah, mataku langsung tertuju pada seorang gadis pirang di kursi taman yang sedang memegang gelang berkilauan dengan tampang bersalah. Aku menyapanya, “Hai, Lily.” Dia kaget dan langsung menyembunyikan gelang yang beberapa waktu ia tatapi dengan perasaan bersalah di belakang punggungnya. “Kamu tidak perlu menutupinya lagi, Lily. Kami sudah tau semuanya.” Kata James. Tangis Lily pun meledak. “Aku minta maaf, Gracie. Saat aku mengetahui bahwa Ibumu sangat perhatian padamu dengan meminjamkan gelang itu, aku sangat iri padamu. Jadi, saat aku menemukan gelangmu di kamar mandi, bukannya mengembalikannya kepadamu, aku malah berniat menyimpannya. Aku sangat minta maaf. Aku hanya iri karena kamu mempunyai Ibu yang sangat baik, sedangkan Ibuku selalu sibuk bekerja, jadi tidak pernah mempunyai waktu untukku. Aku ingin menjadi sepertimu Gracie. Aku berharap aku mempunyai Ibu seperti Ibumu. Aku benar-benar minta maaf.” Isak Lily. “Tidak apa-apa Lily, aku memaafkanmu.” Kataku.
Jam pulang sekolah pun tiba. Sesampainya di rumah, aku mengetok pintu kamar Ibuku. Tok.. Tok.. Tok.. Ibu menjawab, “Masuk saja, pintunya tidak dikunci.” Aku membuka pintu dan memasuki kamar Ibu. “Bu, aku minta maaf ya.” Kataku sambil menundukkan kepala. “Minta maaf untuk apa, Manis?” Tanya Ibu dengan nada keheranan. “Aku telah ceroboh dan meninggalkan gelang Ibu yang sangat indah ini. Untungnya, ada temanku yang menemukannya. Maaf, ya, Bu.” Kataku, tidak berani menatap Ibu. “Ya ampun, Ibu kira apa. Tidak apa-apa, Sayang. Lagipula Ibu berpikir Ibu akan memberikannya kepadamu.” Ibu menjawab dengan tertawa. Aku menatap wajah Ibu dengan tidak percaya. “Benarkah gelang ini boleh untukku, Bu?” Tanyaku dengan semangat. “Ya, boleh.” Kata Ibu sambil tersenyum.
Keesokan harinya, James datang menghampiriku. “Hai, Gracie.” Sapanya dengan malu-malu. “Hai, James! Apa kabar? Terima kasih, ya karena telah mau membantuku dalam mencari gelangku yang hilang kemarin.” Kataku dengan semangat. “Gracie..”“James..” Kami berkata dalam waktu yang bersamaan. “Kamu duluan.””Kamu duluan.” Kami berkata secara berbarengan lagi. Kami berdiam diri untuk membiarkan lawan bicara kami berbicara, tetapi malah jadi kesunyian canggung. “Apa yang ingin kamu katakan, Gracie?” Ucap James akhirnya. “Kemarin, Ibuku memberikan gelang itu kepadaku, jadi sekarang gelang ini menjadi milikku.” Kataku sambil tersenyum lebar padanya. “Wah, itu bagus sekali. Eh.. Aku.. Punya gelang baru juga, lho. Lihat deh.” Ternyata, gelang yang dimiliki James sama denganku, hanya yang dipakainya tidak bermanik-manik seperti punyaku dan. “Jadi, sekarang kita bisa memakai gelang yang kembaran.” Kata James sambil tersenyum malu. Aku hanya bisa tersipu mendengar ucapannya. 



0 comments:

Post a Comment

Another Posts

 
Dancing Banana Rock On